Aku melangkahkan kedua kakiku dengan berat di sebuah trotoar. Aku tak tau akan kemana. Tak ada tujuan. Sejak pagi tadi fikiranku dipenuhi oleh beribu-ribu masalah yang belakangan ini menimpaku. Aku heran, untuk apa kedua orang tuaku memasukan ku di sebuah universitas swasta terbaik dan termahal se-Jakarta? Toh dengan begitu otakku tak akan berubah menjadi pintar. Buktinya IP ku semester ini jeblok! Bahkan nyaris semua mata kuliah tidak lulus. Aku lelah. Orang tuaku selalu menuntut macam-macam. Sedangkan aku hanya menuntut kasih sayang pada mereka, mereka tidak bisa memberikannya. Mereka selalu saja sibuk, malah hampir tidak pernah pulang ke rumah. Tapi biar sajalah. Kalau mereka pulang pun malah membuat kepalaku mau pecah. Mereka selalu meributkan hal yang itu-itu saja. Selalu saling menyalahkan. Terkadang aku berfikir kalau Tuhan itu tidak adil. Mengapa aku dilahirkan di sebuah keluarga yang berantakan seperti ini? Bahkan aku tidak punya seorang saudara pun untuk berbagi penderitaan ini. Sedangkan teman-temanku dilahirkan di sebuah keluarga yang harmonis. Aku iri. Aku iri melihat orang yang lebih bahagia dariku!
Tin..tin..! Sebuah klakson mobil membuyarkan lamunanku. Tanpa sadar aku sudah berada di tengah jalan.
"Woy, minggir! Lo mau mati?" teriak seorang supir angkot.
"Oh, i-iya. Maaf. Saya yang ceroboh. Nggak liat-liat mau nyebrang."
"Makanya lain kali, liat-liat dong!!" bentak supir angkot itu seraya menjalankan angkotnya.
Aku meneruskan langkahku. Akhirnya sekitar 30 menit kemudian, langkahku terhenti di sebuah coffee shop yang terletak tidak jauh dari komplek rumahku. Aku suka sekali tempat ini. Suasananya nyaman, tenang, dan tidak terlalu banyak pengunjung yang datang. Selain itu pelayannya pun ramah-ramah. Aku sering kesana untuk menenangkan diri dari semua masalah hidupku. Supaya lebih tenang, aku memesan secangkir chamomile tea. Aku meminum tehku perlahan-lahan. Tiba-tiba saja aku melihat sepasang kekasih berjalan dengan mesra sambil bergandengan tangan hendak masuk ke dalam coffee shop juga. Hatiku sakit melihat mereka. Karena lelaki yang menggandeng mesra kekasihnya itu adalah Darel. Pacarku! Dan perempuan yang sedang bersamanya..... Ya Tuhan, itu Avira! Avira adalah seniorku di kampus. Sudah sejak lama aku tahu bahwa Avira memang menyukai Darel dan seringkali Avira berusaha untuk merebut Darel dariku. Hanya saja kali ini aku sangat heran kenapa Darel bisa bersama Avira karena yang aku tahu Darel sama sekali tidak pernah menanggapi Avira, bahkan Darel selalu mengingatkanku untuk tidak cemburu pada Avira karena sampai kapanpun dia hanya akan memilihku dibandingkan Avira. Dengan jelas kulihat Avira menatap Darel dengan penuh cinta dan Darel membalas tatapan matanya dengan makna yang sama. Tanpa pikir panjang aku beranjak dari tempat dudukku dan langsung menghampiri Darel dan Avira. Tanganku reflek tanpa perintah langsung menghantamkan tamparan yang cukup keras ke pipi Darel. Hari ini hatiku terlalu kacau sehingga aku tidak bisa mengkontrol diriku sendiri. Darel yang tiba-tiba ku tampar pun menunjukkan ekspresi kaget, marah, juga malu, begitu pula Avira pun menunjukan ekspresi yang sama. Akan tetapi tidak ada perlawanan sama sekali dari Darel maupun Avira. Mereka hanya diam dan terus menatapku. Untung saja hari ini coffee shop ini lebih sepi dari biasanya. Sebelumnya hanya ada aku, dua orang pelayan, dan tiga orang pengunjung lainnya yang secara terang-terangan sedang memperhatikan kami sambil berbisik, dan kini ditambah dengan Darel juga Avira yang terus mengenggam erat lengan Darel. Dalam hati aku ingin sekali melepaskan tangan Avira dari lengan Darel. Lengan itu milikku! Hanya aku yang boleh menggenggamnya seerat itu. Tapi aku merasa tidak bisa lebih lama lagi melihat mereka. Air mataku hampir menetes dan aku sama sekali tidak ingin menangis, setidaknya tidak di depan mereka berdua. Dengan cepat aku mengambil tasku kemudian pergi meninggalkan coffee shop tersebut dan memutuskan untuk pulang ke rumah. Sesampainya di rumah, seperti biasa, yang kulihat hanyalah ruangan-ruangan kosong dan dingin. Tidak pernah sekalipun aku pulang ke rumah di sambut dengan hangat oleh kedua orangtuaku. Aku langsung masuk ke kamar, membanting pintu dengan keras, dan menghempaskan tubuhku di atas tempat tidur dan membiarkan air mataku mengalir deras hingga akhirnya aku pun tertidur dengan lelap.
PRANG!! Aku terbangun dari tidurku ketika ku mendengar suara pecahan piring, guci, serta barang-barang lainnya. Aku memutuskan untuk keluar dari kamar dan melihat apa yang terjadi. Seperti biasa, kedua orangtuaku ribut. Kali ini masalahnya karena Papa ketauan selingkuh oleh Mama. Makin lama pertengkaran mereka makin hebat. Aku sudah tidak kuat mendengar teriakan-teriakan mereka dan suara barang-barang yang pecah. Kepalaku mau pecah! Akhirnya aku turun ke lantai bawah untuk menghentikan pertengkaran mereka.
"STOP!!!" aku berteriak di depan mereka. Karena kaget mendengar teriakanku, mereka pun berhenti ribut.
"Kania, lagi apa kamu di sini? Bukannya tadi kamu sudah tidur, sayang?" ujar Mama.
"Gimana Kania bisa tidur kalo dari tadi Papa sama Mama kerjaannya ribut terus? Kalo kalian nggak bisa akur, udah cerai aja sekalian! Beres
PLAK! Tamparan Papa mendarat di pipiku.
"Kania! Jaga mulut kamu!."
"Emang bener
"Kania!!" Papa membentakku.
"Pa, Ma, Kania tuh capek. Kania pusing denger Papa sama Mama berantem terus. Pa, Ma, kania tuh pengen sekali-sekali Papa sama Mama perhatiin Kania."
"Sayang, kurang perhatian gimana sih, Mama sama kamu?"
"Ma, Mama sadar nggak sih? Mama tuh jarang pulang ke rumah. Sekalinya pulang cuma buat berantem sama Papa. Mana pernah sih Mama tanya soal kuliah Kania? Mana pernah Papa sama Mama ada, waktu kania lagi butuh? Papa sama Mama nggak tau
"Kania! Anak nggak tau diuntung kamu! Pergi kamu dari sini. Pergi!" bentak Papa. Tanpa kata-kata aku pun langsung pergi meninggalkan Papa dan Mamaku.
***
Aku menjalankan mobilku dengan kecepatan tinggi sambil menangis. Tanpa sadar aku kini sudah berada di luar Jakarta dan tidak tahu di mana tepatnya. Hanya jalanan sepi dan hutan-hutan kecil yang berada di kana-kiri ku. Aku pusing. Kepalaku rasanya mau pecah. Aku tidak kuat menghadapi semua ini. Mengapa aku harus dilahirkan dengan masalah sebanyak ini? Sudah tak ada lagi orang yang perduli dan sayang padaku. Bahkan Darel, orang yang kufikir menyayangiku, malah mengkhianatiku.
Tiin..tiin.. Ah, lagi-lagi suara klakson angkot membuyarkan semua lamunanku. Tunggu, tapi itu bukan suara klakson angkot, melainkan sebuah truk! Aku mencoba menghentikan mobilku. Tapi sial! Aku lupa kalau rem mobilku sedang bermasalah dan kini... rem mobilku sama sekali tidak berfungsi! Truk itu semakin mendekat dan aku tidak bisa mengendalikan mobilku…
***
Hujan rintik-rintik mengguyur
Rest In Peace
Kania Adrian
binti
Anggoro Adrian
Lahir : 20 April 1988
Wafat : 15 Juni 2007
-TAMAT-
Written by Riyanti Rizki Sarastika
Jakarta, 2008